Rabu, 18 Mei 2011

Teropong Pendidikan Lamongan


Menuju Pendidikan Yang Humanis
            Jika perilaku berbagai peledakan bom itu lulusan sekolah khusus teroris, maka lembaga pendidikan mereka berhasil menjalankan visi-misinya : mendidik orang menjadi teroris andal, setia pada tujuan. Saya tidak berbicara baik-buruk, benar-salah, atau mulia-jahatnya tindakan teroris dan cara yang dipilih untuk mencapai tujuan. Saya menilik bagaimana visi-misi pendidikan diimplementasikan sehingga peserta didik menghidupi dan menjalankannya secara total dan all out.
            Yang jelas,  “proses pendidikan” di sekolah teroris telah menumbuhkan keberanian dan kemauan bertindak lulusannya, yang konyol dmata kita, tetapi merupakan indikator sukses guru-gurunya. Pembaiatan menjadi semacam wisuda untuk mengukuhkan keberanian dan kemauan itu.
            Lembaga-lembaga pendidikan formal kita, dan lembaga pendidikan umum di mana pun, jelas tidak dimaksudkan untuk mendidik teroris. Lembaga-lembaga pendidikan kita memiliki tujuan filsafati luhur.
            Ada proses dan pengukuran. Ada pengukuhan janji dalam wisuda. Namun, tidak sedikit lilusan dunia pendidikan kita yang tidak menunjukkan keberanian dan kemauan bertindak menurut tujuan dan nilai-nilai dimana mereka pernah dididik. Dalam arti terbatas ini, sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan formal telah gagal menjalankan visi-misinya. Ironisnya, justru kegagalan inilah membedakannya dari pendidikan ala teroris.
Misi dasar pendidikan
Kita telah mematri pendidikan mengemban misi penyadaran (conscientitation) atau istila-istilah serupa lain, seperti pemerdekaan dan pemanusiaan. Ini misi dasar mulia. Pendidikan harus membuat orang kian sadar akan jati diri dan asal-usul, dunia dan lingkungan alam-sosial, serta tanggung jawabnya. Pendek kata, pendidikan dimaksudkan membawa orang pada kesadaran insani.
Dalam konteks ini, kemampuan memilih dikedepankan. Artinya apa pun keputusan sikap seseorang dalam kaitan dengan kesadaran jati diri dan lain-lain, asal dipilih sendiri secara sadar, adalah wujud keberhasilan pendidikan. Dalam bahsa Daoed Joesoep ( Tantangan bagi individu otonom, Kompas, 24/08/04), pendidikan harus mendorong individu menjadi lebih otonom, “yang tidak berjiwa bebek, mampu berpikir mandiri, dan bertindak sendiri,....berkat kekuatan nalar pribadi dan semangatnya yang kritis”. Otonom untuk menentukan sikap dan tindakan atas dasar pertimbangan.
Masalahnya, sejauh mana dapat dijamin (dan oleh siapa) bahwa pilihan sikap, perilaku, atau paham individu-indinidu otonom hasil proses pendidikan itu in favor dengan tujuan pedidikan yang telah dijalani???? Bagaimana jika oleh kesadaran yang tumbuh melalui proses pendidikan, orang lalu memilih untuk, misalnya, menjadi teroris???? Seperti diketahui, mereka yang dicurigai telah melakukan aksi berbagai teror bom bukan orang-orang berpendidikan formal rendah.
Ideologisasi
Dibalik misi penyadaran yang diembannya, kita melihat ruang kosong praksis dunia pendidikan formal. Jika pendidikan memanusiakan, mengapa kian besar gejala deviasi tindakan mereka yang terdidik????? Gejala tersebut merupakan kesenjangan kesadaran wacana dan kesadaran perbuatan. Kesenjangan ini harus dikikis dengan mengisi ruang kosong yang timbul dari misi penyadaran pendidikan.
Ruang kosong itu adalah tidak adanya ideologisasi tujuan pendidikan. Artinya, tidak ada yang dipahamkan kepada peserta didik untuk menumbuhkan keyakinan, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai demi suatu ideal yang dianggap lebih tinggi dan luas. Ideologisasi menjadikan tujuan pendidikan sebagai semangat dasar proses.
Tujuan dicapai demi tujuan itu sendiri, sehingga kesediaan berkorban dalam perjuangan mendekati ideal amatlah kecil, karena jiwa mereka yang terdidik tidak disatukan dengan tujuan pendidikan itu.
            Disinilah letak pentingnya ideologisasi tujuan pendidikan menjadi target sekaligus semangat praksis pendidikan. Pencapaiannya bersifat imperatif dan dilakukan dengan semacam drilling tujuan, sebagai semangat ideologis yang harus diwujudkan. Ini perkara metodologi, agar praksis pendidikan tidak dipisahkan-tidak dialienasikan dari tujuan pendidikan itu sendiri.
            Akan halnya substansi tujuan pendidikan, kita memilikinya secara amat berlimpah, baik yang eksplisit telah tersurat maupun yang mengendap dalam keutamaan-keutamaan masyarakat kita.
Tantangan Ganda
            Telah sering dibahas, dunia pendidikan di masa kini menghadapi tantangan yang muncul dalam proses pengglobalan masyarakat. Ini meliputi, misalnya, bagaimana “mengompromikan” visi humanistik dengan visi utilitarian pendidikan. Soal keberpihakan institusi-institusi pendidikan dalam aras polarisasi lapisan sosial-ekonomi masyarakat, masih menjadi isu penting perdebatan pelaku pendidikan.
            Namun, dunia pendidikan masa kini juga menghadapi tantangan yang muncul dari gerakan kontra globalisasi, terutama atas dominasi sekelompok masyarakat dunia. Gerakan ini mengambil berbagai bentuk dan intensitas, tetapi kiranya teror bom memberi kesan paling jelas tentang misi gerakan yang fundamentalis.
            Dunia pendidikan ditantang adu strategi dan metode mengarahkan kesadaran individu atas pilihan-pilihan hidupnya. Adalah kegagalan dan ironi yanh harus memancing refleksi jika mereka yang bertahun-tahun mengenyan pendidikan bervisi kemanusiaan, lalu memutuskan memilih menjadi pembunuh puluhan orang tak berdosa, hanya karena perjumpaan beberapa saat dengan mereka yang tidak mencintai kemanusiaan.
            Oleh karena itu, pendidikan masa kini harus mampu menjawab sekaligus kedua tantangan yang muncul dari arus-arus globalisasi yang bertentangan itu. Penguasaan teknologi telah sering disebut sebagai salah satu jawaban atas tantangan globalisasi. Menurut saya, pemilihan strategi dan metode pendidikan merupakan jawaban atas tantangan gerakan kontra globalisasi.
            Jika gerakan kontra globalisasi mampu mengarahkan para lulusansekolah bervisi kemanusiaan menjadi pembunuh dengan semangat militan, maka mungkin pada sisi “menumbuhkan semangat militan” itulah sekolah bervisi kemanusiaan kita lemah. Karena itu, strategi dan metode pendidikan yang dapat menjawab tantangan gerakan kontra globalisasi adalah strategi dan metode pendidikan yang menumbuhkan militansi kemanusiaan.
            Pendidikan bervisi kemanusiaan harus membuat orang mati-matian dalam sikap dan perilakunya berpihak pada nilai-nilai dan tujuan kemanusiaan. Ini dapat terwujud jikaada ideologisasi visi dan misi kemanusiaan dalam praksis pendidikan.  

Tidak ada komentar: